Oleh Ustadz Imam Wahyudi Lc
Islam
adalah anugerah yang tiada tara. Satu-satunya agama yang diridhai oleh
Allâh Azza wa Jalla di dunia dan akherat .
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi [Ali-‘Imrân/3: 85]
Dan
sebaliknya, agama selain Islam merupakan penghalang diterimanya
perbuatan baik seseorang, bahkan perbuatan baik tersebut akan sia-sia
dan sirna di sisi Allah Azza wa Jalla kelak. Allâh Azza wa Jalla
berfirman:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا
Dan
orang-orang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah
yang datar, disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila
didatangi air itu, dia tidak mendapati sesuatu pun [an-Nûr/24:39]
Juga firman-Nya:
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan [al-Furqân/25:23]
Suatu
ketika ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullâh tentang seorang dermawan yang
hidup di zaman Jahiliyyah yang bernama Ibnu Jud’ân. Dia sangat gemar
menyambung tali silaturahmi dan memberi makan kaum miskin, apakah
kebaikan tersebut akan bermanfaat baginya? Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam pun menjawab:
لاَ يَا عَائِشَةُ ، إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا : رَبِّ اغْفِرْ لِيْ خَطِيْئَتِيْ يَوْمَ الدِّينِ
Tidak
wahai ‘Aisyah, karena dia tidak pernah sekalipun mengatakan: Rabb-ku
ampunilah kesalahan-kesalahanku di hari kiamat kelak [HR. Muslim]
Nikmat
ini harus selalu senantiasa disyukuri, dengan senantiasa menjaganya
agar tetap menetap kuat dalam jiwa dan dan mengisi hidup dengan beramal
saleh sebanyak mungkin, agar semakin bertambah dan kokoh, serta jangan
sampai berkurang apalagi sirna dari diri kita, alias murtad.
Na’ûdzubillah min dzâlik.
Semangat
ini hendaknya terus kita pupuk, diantaranya dengan memahami resiko yang
bakal ditanggung oleh seorang murtad, keluar dari Islam. Untuk itu,
marilah kita simak uraian berikut ini. Semoga bermanfaat.
1. DEFINISI MURTAD
Istilah murtad dalam bahasa Arab diambil dari kata ( ارْتَدَّ)
yang bermakna kembali berbalik ke belakang. Sedangkan menurut syariat,
orang murtad adalah seorang Muslim yang menjadi kafir setelah
keislamannya, tanpa ada paksaan, dalam usia tamyiiz (sudah mampu memilah
dan memilih perkara, antara yang baik dari yang buruk-pen.) serta
berakal sehat.
Seorang yang
menyatakan kekufuran karena terpaksa, tidak dikategorikan sebagai orang
murtad, sebagaimana yang terjadi pada diri Sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, ’Ammâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu yang dipaksa dan
disiksa agar mau mengingkari kenabian Rasûlullâh dan mencela Islam.
Akhirnya terpaksa menuruti mereka, padahal hatinya tetap yakin akan
kebenaran ajaran Rasûlullâh. Setelah dibebaskan, dengan menangis dia
mendatangi Rasulullah seraya menceritakan peristiwa tersebut, dan
ternyata Rasûlullâh memaafkannya. Kemudian turunlah firman Allâh Azza wa
Jalla :
مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barang
siapa yang kafir kepada Allâh sesudah dia beriman (dia mendapat
kemurkaan Allâh), kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya
tetap tenang dalam keimanan (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang
melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allâh menimpanya dan
baginya adzab yang besar [an-Nahl/16:106]
2. SANKSI-SANKSI MORAL BAGI ORANG MURTAD
Pada
kesempatan kali ini, paparan bahasan ini terfokuskan pada dampak-dampak
buruk orang yang murtad di dunia dan akherat, sebuah fenomena yang
cukup banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Sebagian orang begitu
mudah mengganti akidah Islamnya, entah karena kesulitan ekonomi,
anggapan semua agama itu sama dan mengajak kepada kebaikan, ataupun
kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Jika menyadari betapa bahaya
besar akan menimpa mereka usai menanggalkan baju Islamnya, mungkin
mereka tidak akan pernah melakukan tindakan bodoh tersebut.
Para
Ulama Islam (kalangan Fuqaha) telah membahas konsekuensi hukum yang
berlaku pada orang Islam yang pindah agama dalam buku-bukum fiqih mereka
dalam pasal ar-riddah. Berikut ini konsekuensi buruk dari perbuatan
mencampakkan Islam – satu-satunya agama yang diridhai Allâh Azza wa
Jalla – dengan memeluk agama lainnya, menjadi seorang nasrani atau
pemeluk agama lainnya.
a. Amal Ibadahnya Terhapus
Banyaknya
ibadah yang telah dilakukan, tidak akan pernah bermanfaat bagi
pelakunya, bahkan berguguran tanpa ada hasil yang bisa dipetik, apabila
di kemudian hari dia kufur kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan tempat
kembalinya adalah neraka kekal abadi di dalamnya, jika mati dalam
kekufuran. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Barangsiapa
diantara kalian yang murtad dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di
akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya
[al-Baqarah/2:217]
b. Haknya Sebagai Seorang Muslim Sirna
Seorang Muslim wajib menunaikan orang Muslim lainnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
حَقُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاَمِ ، وَعِيَادَةُ
الْمَرِيْضِ ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَاِئزِ ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ ،
وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ
Hak
seorang Muslim yang wajib ditunaikan oleh orang Muslim lainnya ada
lima: menjawab salam, mengunjungi yang sedang sakit, mengiringi
jenazahnya, memenuhi undangannya, mendoakan yang bersin [HR. al-Bukhâri
dan Muslim]
Berdasarkan hadits
tersebut, maka seorang Muslim tidak wajib menjawab lontaran salam dari
orang yang murtad dari Islam, tidak perlu menengoknya tatkala sakit,
tidak perlu menghormati dan mengiringi jenazahnya bila mati, tidak boleh
mendatangi undangannya, dan tidak boleh mendoakannnya ketika si murtad
bersin.
c. Haram Menikahi Seorang Muslimah. Apabila Telah Menikah, Maka Otomatis Pernikahannya Batal Demi Hukum
Islam
melarang umatnya menikah dengan non-muslim secara umum, serta merupakan
syarat sah suatu pernikahan Islami adalah kedua mempelai beragama Islam
– kecuali dengan wanita Ahli Kitab dengan persyaratan yang ketat – .
Adapun pernikahan seorang Muslim dengan seorang wanita musyrik selain
Ahli Kitab, pernikahan itu tidak sah. Wanita Muslimah pun tidak boleh
menikah dengan lelaki kafir, termasuk lelaki yang berstatus murtad.
Sebab pernikahan seorang Muslimah (atau lelaki Muslim) dengan orang yang
murtad pernikahan yang telah terjalin menjadi putus dan batal secara
otomatis. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan
janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Dan janganlah kalian
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hati kalian. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran [Al-Baqarah/2:221]
Demikian juga Allâh Azza wa Jalla berfirman:
ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Maka
jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman Maka
janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan
orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka [al-Mumtahanah/60:10]
Dengan
demikian, dalam Islam tidak halal lagi bagi pasangan yang salah satunya
telah murtad untuk melakukan hubungan layaknya suami isteri.
d. Tidak Boleh Menjadi Wali Dalam Pernikahan
Seorang
wanita muslimah apabila hendak menikah, maka memerlukan seorang wali
untuk menikahkannya, baik bapaknya, pamannya dan seterusnya. Akan
tetapi, misalnya bapak atau walinya murtad, maka tidak berhak menikahkan
anak atau kemenakannya yang Muslimah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain [at-Taubah/9:71]
Allâh Azza wa Jalla juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Barang siapa di antara kalian mengambil mereka
menjadi pemimpin. Maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allâh tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim
[al-Mâ’idah/5:51]
Hal ini
dipertegas oleh sabda yang menyatakan bahwa, tidak ada pernikahan yang
sah kecuali atas izin seorang wali dan disaksikan oleh dua orang lelaki
yang adil sebagai saksi pernikahan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لَا نِكاَحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
Tidaklah
suatu pernikahan itu (sah) kecuali dengan seorang wali dan dua orang
saksi yang adil [HR. al-Baihaqi dan Ibnu Hibbân dengan sanad yang
shahih]
Pengertian orang adil di
sini ialah orang yang jauh dari dosa besar dan tidak terus-menerus
melakukan dosa kecil. Atas dasar itu, seorang yang telah murtad dari
Islam lebih tidak berhak lagi untuk menjadi wali dan saksi dalam
pernikahan.
e. Tidak Mewarisi Dan Tidak Diwarisi Hartanya
Apabila
seorang bapak meninggal dunia dalam keadaan kafir (termasuk orang yang
mati dalam keadaan murtad), maka anak dan ahli warisnnya yang beragama
Islam tidak boleh mewarisi harta peninggalan bapaknya tersebut. Sebagian
ulama menyatakan bahwa harta orang seperti ini menjadi fai’ dan masuk
ke Baitul Mal kaum Muslimin dan digunakan untuk kemaslahatan kaum
Muslimin. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ، وَلَا الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ
Tidaklah
seorang Muslim boleh mewarisi (harta) orang kafir, demikian juga orang
kafir tidak mewarisi (harta) seorang Muslim [Muttafaqun’alaih]
Pada
kasus yang lain, apabila seorang bapak yang beragama Islam meninggal
dunia, kemudian di antara anaknya atau ahli warisnya ada yang non-Muslim
(termasuk murtad) maka dia tidak berhak mendapatkan bagian dari harta
ayahnya.
f. Jika Mati, Tidak Dishalati, Tidak Dikafani Serta Tidak Boleh Didoakan
Apabila
seseorang mati dalam keadaan murtad dari Islam, maka dia tidak boleh
dishalati, dikafani maupun didoakan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تُصَلِّ عَلَىٰ أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَىٰ قَبْرِهِ ۖ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu
sekali-kali menyolatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka,
dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka
telah kafir kepada Allâh dan Rasûl-Nya dan mereka mati dalam keadaan
fasik [al-Taubah/9:84]
g. Jika Mati, Tida Boleh Dimakamkan Di Pemakaman Muslimin
Sejak
zaman Nabi, kaum Muslimin berinteraksi dan hidup berdampingan dengan
orang-orang non-Muslim. Namun dalam masalah pemakaman, beliau memisahkan
lokasi pemakaman kaum Muslimin dengan orang-orang kafir, sebagaimana
dalam sebuah riwayat sahabat Ibnul Khashâshiyah menceritakan: Suatu
ketika Rasûlullâh mendatangi pemakaman kaum Muslimin seraya mengatakan,
“Mereka telah memperoleh kebaikan yang banyak”. Beliau mengatakannya
tiga kali. Kemudian beliau mendatangi pemakaman kaum musyrikin seraya
mengatakan, “Mereka telah melewatkan kebaikan yang banyak”. Beliau
mengatakannya tiga kali. [HR. Abu Dâwud, an-Nasâ’i dan Ibnu Mâjah dengan
sanad yang shahih. Dishahihkan al-Albâni dalam Ahkâmul al-Janâ’iz]
h. Jika Mati Dalam Keadaan Murtad, Tidak Boleh Dimintakan Ampunan Baginya
Betapapun
cinta kita terhadap orang lain, tapi apabila dia meninggal dalam
keadaan tidak memeluk Islam, maka kita tidak diperkenankan memintakan
ampunan atas dosa-dosanya, sebagaimana teguran Allâh Azza wa Jallaepada
Nabi-Nya dalam firman-Nya:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun
(kepada Allâh) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik
itu adalah kaum kerabat (Nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya
orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam [at-Taubah/9:113]
i. Kaum Muslimin Memberikan Berita Buruk Ketika Melewati Kuburnya
Islam
mengajarkan kepada untuk tidak memberi salam dan tidak mendoakan
kebaikan ketika melewati makam orang kafir. Bahkan kita diperintahkan
untuk mengabarkan kepadanya tentang neraka. Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
حَيْثُمَا مَرَرْتَ بِقَبْرِ كَافِرٍ فَبَشِّرْهُ بِالنَّارِ
Dimanapun
anda melewati makam orang kafir, maka beritakanlah kepadanya tentang
neraka. [HR. Ibnu Mâjah, at-Thabrâni dalam al-Mu’jam al-Kabiir]
j. Sembelihannya Haram Bagi Kaum Muslimin
Islam
melarang segala sembelihan yang tidak disebutkan nama Allâh Azza wa
Jalla di dalamnya, termasuk sembelihan kaum musyrikin maupun seorang
ateis, terkecuali Ahli Kitab. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ
Pada
hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagi kalian, dan makanan
kalian halal (pula) bagi mereka [al-Mâ’idah/5:5]
k. Persaksiannya Ditolak
Telah
kita ketahui bahwa sifat adil yang dimaksud adalah jauhnya seseorang
dari perbuatan dosa besar dan tidak terus menerus melakukan dosa kecil.
Dari sini, orang yang murtad lebih tidak berhak lagi orang murtad,
sehingga dia tidak boleh menjadi saksi dalam peradilan Islam, dan juga
dalam pernikahan seorang Muslim, sebagaimana perintah Allâh Azza wa
Jalla :
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian, dan
hendaklah kalian tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir
[ath-Thalâq/65:2]
Maksudnya, dari kalangan kaum Muslimin, bukan yang lain.
l. Tidak Boleh Memasuki Tanah Suci (Tanah Haram)
Tanah
suci atau tanah haram memiliki kehormatan yang tidak boleh direndahkan
dan dilanggar, di antara tidak boleh seorang kafir pun memasukinya,
sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ يَدْخُلُ مَكَّةَ مُشْرِكٌ بَعْدَ عَامِنَا هَذَا أَبَدًا
Tidak boleh seorang musyrik pun memasuki kota Mekah setelah tahun ini selamanya [HR. al-Bukhâri]
3. HUKUM PIDANA BAGI ORANG MURTAD
Apabila
seseorang murtad dengan berpindah ke agama lain atau memilih untuk
menjadi seorang ateis, langkah yang ditempuh adalah mendakwahinya untuk
kembali ke pangkuan Islam dalam tempo tiga hari. Jika tetap dalam
kemurtadannya, maka ia dihukum bunuh. Hal ini berdasarkan sabda
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Siapa saja yang mengganti agamanya, maka hendaklah kalian bunuh dia [HR. al-Bukhâri]
Permasalahan
jangka waktu penyadaran melalui dakwah agar ia bertaubat selama tiga
hari, kami belum menemukan dalil yang kuat untuk dijadikan pijakan,
kecuali dalil logika yang dikemukakan oleh sebagian ulama, bahwa
kemurtadan mayoritasnya disebabkan kerancuan pikiran dan syubhat dalam
diri orang tersebut, sehingga diharapkan dengan dakwah khusus secara
personal kepadanya, kerancuan dan syubhat tersebut bisa dihilangkan dari
pikirannya, sehingga mau dengan sukarela kembali ke pangkuan Islam.
Wallâhu a’lam. .
4. KESIMPULAN
Kemurtadan
adalah bencana bagi pelaku baik di dunia terlebih di akhirat, sehingga
setiap Muslim harus ekstra hati-hati darinya, agar tidak terjerumus ke
dalamnya. Melalui pembahasan ini pula seyogyanya seorang Muslim bersikap
tegas (bersikap proporsional) terhadap orang-orang yang rela
menanggalkan akidah Islamnya. Karena sebagian umat menyikapi keluarganya
yang murtad dengan dingin-dingin saja seolah-olah tidak terjadi
apa-apa. Semoga kita dijauhkan dari bencana seperti ini dan diwafatkan
dalam keadaan memegangi akidah Islamiyyah, sehingga kelak dikumpulkan
dengan penduduk Jannah. Amin
DAFTAR PUSTAKA
a.’Uqûbâtuz Zâni wal Murtad wa Daf’isy Syubuhât fî Dhauil Kitâb was Sunnnah, ‘Imâd al-Sayyid Muhammad Ismâ’il asy-Syarbini
b. Kifâyatul Akhyâr, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini ad-Dimasyqi
c. Minhâjul Muslim, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri
d. Al-Wajîz fîi Fiqhis Sunnah wal Kitâbil ‘Azîz, ‘Abdul ‘Azhîm al-Badawi
e. Al-Tahqîiqâtul Mardhiyyah fii al-Mabâhits al-Fardhiyyah, Shaleh Fauzân al-Fauzân
f. Ahkâmul Janâiz, Muhammad Nâshiruddin al-Albâni
a.’Uqûbâtuz Zâni wal Murtad wa Daf’isy Syubuhât fî Dhauil Kitâb was Sunnnah, ‘Imâd al-Sayyid Muhammad Ismâ’il asy-Syarbini
b. Kifâyatul Akhyâr, Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini ad-Dimasyqi
c. Minhâjul Muslim, Abu Bakr Jâbir al-Jazâiri
d. Al-Wajîz fîi Fiqhis Sunnah wal Kitâbil ‘Azîz, ‘Abdul ‘Azhîm al-Badawi
e. Al-Tahqîiqâtul Mardhiyyah fii al-Mabâhits al-Fardhiyyah, Shaleh Fauzân al-Fauzân
f. Ahkâmul Janâiz, Muhammad Nâshiruddin al-Albâni
0 komentar:
Posting Komentar